Guru Tanpa Henti
Di tengah riuh dunia pendidikan yang kerap
diguncang kebijakan dadakan bak gempa 7 skala Richter, sosok guru tetap berdiri
di garis depan. Ia bukan sekadar pengajar. Ia adalah pelita di tengah gulita,
nahkoda dalam kapal pendidikan yang sering kali nyaris karam oleh birokrasi
yang terlalu gemuk dan kurikulum yang gemar berubah.
Menjadi guru hari ini bukan perkara mengisi
papan tulis dengan kapur dan harapan. Ia harus menjadi perpaduan antara Google
dan psikolog, motivator dan stand-up comedian, bahkan terkadang juga “pemadam
kebakaran” ketika emosi siswa menyala-nyala tak terkendali.
Ironisnya, gaji yang diterima kerap kali tak
setara dengan beban kerja dan tuntutan peran. Seperti kata Pramoedya Ananta
Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia
akan hilang dari sejarah.” Maka guru yang baik, harus pula belajar menulis
ulang dirinya di tiap generasi.
Di era digital, seorang guru pembelajar tak
cukup hanya mengandalkan ijazah yang berdebu. Ia harus menanamkan akar ke dalam
ilmu yang terus berkembang. Data dari UNESCO tahun 2024 menunjukkan, negara
dengan tingkat partisipasi pelatihan guru yang tinggi memiliki peningkatan
signifikan dalam capaian belajar siswa. Maka pelatihan, seminar, bahkan obrolan
di komunitas daring bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan pokok—sejajar
dengan nasi dan kopi hitam.
Tapi mari jujur: betapa sering pelatihan hanya
jadi seremoni penuh slide dan selfie, bukan substansi. Guru pembelajar sejati
tahu bahwa belajar tidak berhenti di seminar, tapi dimulai ketika kembali ke
kelas dan mencoba hal baru, lalu gagal, lalu mencoba lagi. “Belajar adalah
satu-satunya hal yang pikirannya tidak pernah menolak,” kata Leonardo da Vinci.
Maka guru, jika ingin tetap relevan, harus menjadi pemeluk perubahan, bukan
korbannya.
Komunikasi pun jadi senjata utama. Guru yang
tak bisa berkomunikasi ibarat musisi yang kehilangan nada. Mereka harus mampu
merangkai kata seperti pujangga, menyentuh hati siswa yang kadang lebih terbuka
pada TikTok daripada pada buku pelajaran. Bahasa yang sederhana, cerita yang
kontekstual, dan gestur yang bersahabat—itulah mantra pengikat perhatian di
kelas.
Namun sayangnya, masih ada guru yang menganggap
komunikasi adalah satu arah. Mereka berbicara, siswa mendengar—selesai.
Padahal, komunikasi yang baik menuntut dua arah. Mendengar lebih banyak,
berbicara lebih dalam. Ketika siswa merasa didengar, mereka pun akan mendengar.
Dan itulah awal mula kepercayaan tumbuh.
Kelas bukan penjara, dan guru bukan sipir.
Kelas yang menyenangkan adalah taman bermain intelektual. Guru perlu
menciptakan ruang di mana tawa dan rasa ingin tahu bisa tumbuh bersamaan.
“Pendidikan bukanlah mengisi ember, tapi menyalakan api,” kata William Butler
Yeats. Maka mengajar tak boleh membosankan. Gunakan video, permainan, bahkan
TikTok edukatif jika perlu—asal jangan lupa, esensinya tetap belajar.
Lebih dari itu, guru adalah cermin. Jika cermin
retak, pantulan yang terlihat pun akan terdistorsi. Maka menjadi teladan bukan
pilihan, melainkan harga mati. Integritas, kejujuran, dan tanggung jawab bukan
slogan, tapi pakaian sehari-hari. Sebab siswa bukan hanya meniru, mereka
menelan bulat-bulat semua yang dilihat dari gurunya.
Tapi kita tahu, tidak semua guru layak ditiru.
Ada yang lebih gemar menegur pakaian siswa daripada memperbaiki cara
mengajarnya. Ironis. Kita butuh guru yang tidak hanya menyuruh murid untuk
berubah, tapi juga mau mengubah dirinya lebih dulu. Menjadi panutan dimulai
dari keberanian untuk introspeksi.
Satu hal yang kerap dilupakan: siswa bukan
robot penghafal. Mereka punya mimpi, ketakutan, dan cerita yang kadang tak
tersampaikan. Guru yang hebat mampu meraba isi hati siswa dari sorot mata dan
gestur diam. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengulurkan tangan, menunjukkan
bahwa sekolah adalah tempat yang aman untuk bertumbuh.
Hubungan yang kuat antara guru dan siswa bukan
dibangun dengan ancaman nilai merah, tapi dengan kehangatan yang tulus. Jangan
pernah bandingkan satu anak dengan yang lain—bahkan Tuhan pun menciptakan
manusia dengan sidik jari berbeda. Setiap siswa adalah kisah unik yang butuh
pembaca sabar.
Lantas, motivasi dari mana datangnya? Dari guru
yang percaya bahwa setiap anak bisa hebat. Motivasi bukan teriakan kosong, tapi
bisikan keyakinan: “Kamu bisa.” Seringkali satu kalimat sederhana dari guru
bisa menyelamatkan satu hidup remaja dari jurang keputusasaan. Apresiasi kecil
pun bisa berdampak besar.
Jangan lupa, guru juga manusia. Mereka lelah,
kecewa, bahkan kadang nyaris menyerah. Tapi mereka tetap berdiri, karena tahu
tugas mereka bukan hanya mendidik, tapi juga menyalakan harapan. “Guru yang
baik itu seperti lilin—membakar dirinya demi menerangi orang lain,” kata
Mustafa Kemal Atatürk. Metafora yang mungkin terlalu klasik, tapi tetap
menyayat hati.
Di balik kesederhanaan profesinya, guru memikul
masa depan bangsa. Maka mari kita berhenti menganggap remeh profesi ini.
Pendidikan bukan beban pemerintah semata, tapi tanggung jawab kolektif. Sudah
waktunya menjadikan guru sebagai subjek perubahan, bukan sekadar objek
kebijakan.
Pesan Moral
Jadilah guru yang belajar tanpa henti, bukan
karena kewajiban, tapi karena cinta. Karena sejatinya, guru yang terus belajar
bukan hanya membentuk murid, tapi membangun peradaban. Dan seperti api kecil
yang tak padam, ia akan terus menyala—menyulut nyala baru di hati generasi
mendatang.
No comments:
Post a Comment
Komentarlah dengan bijak