Tuesday, 27 May 2025

Guru Tanpa Henti

 

Guru Tanpa Henti

 


Di tengah riuh dunia pendidikan yang kerap diguncang kebijakan dadakan bak gempa 7 skala Richter, sosok guru tetap berdiri di garis depan. Ia bukan sekadar pengajar. Ia adalah pelita di tengah gulita, nahkoda dalam kapal pendidikan yang sering kali nyaris karam oleh birokrasi yang terlalu gemuk dan kurikulum yang gemar berubah.

Menjadi guru hari ini bukan perkara mengisi papan tulis dengan kapur dan harapan. Ia harus menjadi perpaduan antara Google dan psikolog, motivator dan stand-up comedian, bahkan terkadang juga “pemadam kebakaran” ketika emosi siswa menyala-nyala tak terkendali.

Ironisnya, gaji yang diterima kerap kali tak setara dengan beban kerja dan tuntutan peran. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah.” Maka guru yang baik, harus pula belajar menulis ulang dirinya di tiap generasi.

Di era digital, seorang guru pembelajar tak cukup hanya mengandalkan ijazah yang berdebu. Ia harus menanamkan akar ke dalam ilmu yang terus berkembang. Data dari UNESCO tahun 2024 menunjukkan, negara dengan tingkat partisipasi pelatihan guru yang tinggi memiliki peningkatan signifikan dalam capaian belajar siswa. Maka pelatihan, seminar, bahkan obrolan di komunitas daring bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan pokok—sejajar dengan nasi dan kopi hitam.

Tapi mari jujur: betapa sering pelatihan hanya jadi seremoni penuh slide dan selfie, bukan substansi. Guru pembelajar sejati tahu bahwa belajar tidak berhenti di seminar, tapi dimulai ketika kembali ke kelas dan mencoba hal baru, lalu gagal, lalu mencoba lagi. “Belajar adalah satu-satunya hal yang pikirannya tidak pernah menolak,” kata Leonardo da Vinci. Maka guru, jika ingin tetap relevan, harus menjadi pemeluk perubahan, bukan korbannya.

Komunikasi pun jadi senjata utama. Guru yang tak bisa berkomunikasi ibarat musisi yang kehilangan nada. Mereka harus mampu merangkai kata seperti pujangga, menyentuh hati siswa yang kadang lebih terbuka pada TikTok daripada pada buku pelajaran. Bahasa yang sederhana, cerita yang kontekstual, dan gestur yang bersahabat—itulah mantra pengikat perhatian di kelas.

Namun sayangnya, masih ada guru yang menganggap komunikasi adalah satu arah. Mereka berbicara, siswa mendengar—selesai. Padahal, komunikasi yang baik menuntut dua arah. Mendengar lebih banyak, berbicara lebih dalam. Ketika siswa merasa didengar, mereka pun akan mendengar. Dan itulah awal mula kepercayaan tumbuh.

Kelas bukan penjara, dan guru bukan sipir. Kelas yang menyenangkan adalah taman bermain intelektual. Guru perlu menciptakan ruang di mana tawa dan rasa ingin tahu bisa tumbuh bersamaan. “Pendidikan bukanlah mengisi ember, tapi menyalakan api,” kata William Butler Yeats. Maka mengajar tak boleh membosankan. Gunakan video, permainan, bahkan TikTok edukatif jika perlu—asal jangan lupa, esensinya tetap belajar.

Lebih dari itu, guru adalah cermin. Jika cermin retak, pantulan yang terlihat pun akan terdistorsi. Maka menjadi teladan bukan pilihan, melainkan harga mati. Integritas, kejujuran, dan tanggung jawab bukan slogan, tapi pakaian sehari-hari. Sebab siswa bukan hanya meniru, mereka menelan bulat-bulat semua yang dilihat dari gurunya.

Tapi kita tahu, tidak semua guru layak ditiru. Ada yang lebih gemar menegur pakaian siswa daripada memperbaiki cara mengajarnya. Ironis. Kita butuh guru yang tidak hanya menyuruh murid untuk berubah, tapi juga mau mengubah dirinya lebih dulu. Menjadi panutan dimulai dari keberanian untuk introspeksi.

Satu hal yang kerap dilupakan: siswa bukan robot penghafal. Mereka punya mimpi, ketakutan, dan cerita yang kadang tak tersampaikan. Guru yang hebat mampu meraba isi hati siswa dari sorot mata dan gestur diam. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengulurkan tangan, menunjukkan bahwa sekolah adalah tempat yang aman untuk bertumbuh.

Hubungan yang kuat antara guru dan siswa bukan dibangun dengan ancaman nilai merah, tapi dengan kehangatan yang tulus. Jangan pernah bandingkan satu anak dengan yang lain—bahkan Tuhan pun menciptakan manusia dengan sidik jari berbeda. Setiap siswa adalah kisah unik yang butuh pembaca sabar.

Lantas, motivasi dari mana datangnya? Dari guru yang percaya bahwa setiap anak bisa hebat. Motivasi bukan teriakan kosong, tapi bisikan keyakinan: “Kamu bisa.” Seringkali satu kalimat sederhana dari guru bisa menyelamatkan satu hidup remaja dari jurang keputusasaan. Apresiasi kecil pun bisa berdampak besar.

Jangan lupa, guru juga manusia. Mereka lelah, kecewa, bahkan kadang nyaris menyerah. Tapi mereka tetap berdiri, karena tahu tugas mereka bukan hanya mendidik, tapi juga menyalakan harapan. “Guru yang baik itu seperti lilin—membakar dirinya demi menerangi orang lain,” kata Mustafa Kemal Atatürk. Metafora yang mungkin terlalu klasik, tapi tetap menyayat hati.

Di balik kesederhanaan profesinya, guru memikul masa depan bangsa. Maka mari kita berhenti menganggap remeh profesi ini. Pendidikan bukan beban pemerintah semata, tapi tanggung jawab kolektif. Sudah waktunya menjadikan guru sebagai subjek perubahan, bukan sekadar objek kebijakan.

 

Pesan Moral

Jadilah guru yang belajar tanpa henti, bukan karena kewajiban, tapi karena cinta. Karena sejatinya, guru yang terus belajar bukan hanya membentuk murid, tapi membangun peradaban. Dan seperti api kecil yang tak padam, ia akan terus menyala—menyulut nyala baru di hati generasi mendatang.

Post Unggulan

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Wisata Edukasi dan Sejarah

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Wisata Edukasi dan Sejarah My Own Property Yogyakarta memang terkenal dengan beragam wisatanya...

Popular Posts